Selasa, 21 November 2017

HOMO HOMINI LUPUS

Tulisan ini lahir ketika saya melaksanan rapat triwulan ke -II, dan dimana teman yang semula kawan menjadi lawan. Sungguh lucu, apalagi pada saat itu calon kekasihku ada diforum tersebut, akibatnya lunturlah gelora cinta antara ku dengannya. Ahh sudahlah. Langsung saja saya membahas tulisanku kali ini "Homo Homini Lupus"

Kalimat terkenal milik Thomas Hobbes yang diartikan "Manusia menjadi serigala atas manusia yang lainnya" sesungguhnya kata-kata tersebut sangatlah tidak pantas untuk menggambarkan sosok manusia yang derajatnya lebih tinggi dibandingkan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Namun jika kita berkaca pada realitas saat ini dan pengalamanku akhir-akhir ini, manusia telah mempraktekkan hal ini dengan dalih untuk kepentingan eksistensinya.

Kehidupan dimasa Hobbes sepertinya tidak jauh berbeda dengan apa yang kita alami saat ini. Manusia pada saat ini pun kerap dihantui oleh prinsip “Bellum Omnium Contra Omnes” (perang melawan semua), selama manusia bersikukuh untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya, manusia yang satu bisa ‘memakan’ dan mengorbankan manusia yang lain; Siapapun dapat menjadi musuh, tidak ada kawan yang ada hanyalah lawan. Sampai saat ini kita dapat merasakan bahwa situasi persaingan antar sesama manusia itu semakin menguat. Jiwa sosial manusia di era serba modern saat ini seakan tidak menampakkan tajinya, yang nampak hanyalah jiwa buas, layaknya serigala yang menerkam mangsanya tanpa kenal ampun.

Gambarannya sangatlah liar, sikap manusia yang terkadang saling sikut, saling berebut, saling tikam mencirikan bahwa manusia dalam bermasyarakatnya tidaklah lebih baik dari cara hidup binatang dalam ekosistem rimbanya. Sekalipun hal ini terjadi hanyalah karena sebuah ambisi, manusia saling jegal hanyalah sekedar ingin mendapatkan kepuasan dari tujuannya. Tindakan senioritas, menggurui, dan pembodohan,apakah tindakan seperti itu mencirikan selayaknya seorang manusia yang berjiwa sosial?

Apabila saya benturkan dalam realitas bermasyarakat, sudah barang tentu jika kita merasa tidak heran lagi melihat masyarakat yang berekonomi rendah melakukan segenap tidakkan yang tidak berorientasikan kemanusiaan, seperti halnya premanisme, perampokkan yang disertai pembunuhan, dan tindak kekerasan antar sesama manusia lainnya. Akan tetapi, tidak hanya masyarakat berekonomi rendah saja yang melakukan hal tersebut, di tingkat para petinggi negeri pun terus saja menyajikan adegan perburuan kekuasaan, kepentingan, uang, serta pengaruh. Hanya demi uang mereka semua keroyokan penuh dendam mematikan, dan hanya demi kepentingan serta pengaruh mereka semua saling sikut-sikutan diantara partai - partai. Semua menjadi berisik seperti gerobombolan lapar, mengaum terus - terusan karena lapar uang. Demi semua itu mereka rela menghalalkan segala cara, tanpa mempedulikan martabat bangsa yang mereka telah injak - injak.

Makhluk berjiwa sosial yang dinamakan Manusia kini telah mati, berganti dengan manusia yang berjiwa buas, mementingkan diri sendiri, dan menjadikan dirinya musuh bagi sesamanya. Jabatan serta prestise telah membutakan nurani. Ilmu yang sejatinya dipergunakan untuk memanusiakan manusia rupanya telah gagal dalam mengemban tugasnya.

Berhentilah menjadi serigala!

TEORI KAPITALISME : DARI KLASIK SAMPAI KONTEMPORER

Idealnya, ketika kita membicarakan mengenai masa peralihan dalam masa klasik, kita tidak bisa lepas mengenai pandangan Adam Smith dan David Ricardo, karena sejatinya merekalah yang merumuskan sistem masyarakat kapitalis dan kemudian dikenal sebagai teori nilai kerja. Namun tak bisa dipungkiri, bahwa teori ini kemudian di kembangkan oleh Karl Marx dan Engels mengenai teori nilai lebih dari konsep cara produksi. Pada dasarnya Adam Smith telah mewariskan mengenai konsep hakekat dan perkembangan “Civil Society” yang merupakan pengertian baru pada saat itu.

Adam Smith mewariskan tradisi ekonomi politik Prancis dan Inggris mengenai komoditi, perkembangan kerja dan modal. Artinya, dari sinilah secara teoritis Adam Smith menganalisis suatu proses peralihan ke Kapitalisme yang berarti bahwa tuan tanah kemudian kelas pekerja lalu kapitalisme yang masing-masing pendapatanya berupa sewa tanah, upah dan modal  yang secara keseluruhan menciptakan apa yang disebut pendapatan nasional.

Ernest Mandel pun mengkritik pendapat Adam Smith, bahwa menurutnya Smith belum mampu menangkap hakekat rill dari nilai, bahwa sistemnya ada dalam proses sirkulasi komoditi yang dihasilkan oleh pemiliknya sendiri. Kemudian dalam kritiknya terhadap Smith, Ricardo membedakan antara apa yang disebut kerja dan tenaga kerja. Ricardo beranggapan bahwa nilai komoditi terdapat pada kerja manusia berikut bahan mentah dan alat kerja. Ricardo mengatakan bahwa modal adalah sesuatu yang mempunyai nilai, nilai atas jumlah kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Artinya menurut Ricardo bahwa jumlah kerja yang digunakan dalam produksi di ukur dari jam kerjanya.

Kemudian mengenai peralihan ke kapitalisme, kita tidak bisa lepas dari teori Karl Marx dan Engels. Kritik Marx dan Engels terhadap Smith dan Ricardo yaitu mengenai teorinya Marx yaitu teori nilai kerja. Dalam bukunya yang berjudul The Poverty Of Phyloshopy dengan mengkategorikan ekonomi politik menjadi laba, sewa, upah, pertukaran, nilai, pembagian kerja, kompotesi uang dll. Yang menurut Marx tidaklah bersifat mutlak dan abadi.

Karl Marx mengkritik Ricardo bahwa hubungan produksi borjuis adalah sebuah kategori abadi, Kemudian Marx beranggapan bahwa yang disebut dengan nilai adalah sebuah fenomena sejarah, antara pembagian kerja dan pertukaran. Bagi Marx, kapitalisme adalah bentuk khusus dari produksi komoditi dan produksi barang yang akan dijual di pasar. Dalam hal ini Marx membaginya menjadi dua yaitu tentang nilai guna dan nilai tukar, dimana nilai komoditi ditentukan berdasarkan waktu kerja yang diperlukan secara sosial. Penjelasan ini berhubungan dengan penjelasan Marx yang sentral mengenai nilai lebih atau yang secara umum disebut laba yang merupakan jantung kegiatan kapitalisme.

Kemudian mengenai peralihan di pedesaan, Karl Kutsky dan Lenin menganalisis masa peralihan atas dasar analisis Marx tentang nilai yaitu berupa nilai lebih, laba, dan sewa. Kautsky menggambarkan tentang peralihan kapitalisme di pedesaan atas dasar perkembangan industri di kota. Bagi Kautksy, penyingkiran kerajinan tangan di pedesaan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan uang tunai pada petani yang menyebabkan penggantian dari pembayaran dalam bentuk barang kepada pembayaran tunai.

Lenin pun memberikan perhatian khusus pada perkembangan kapitalisme di pedesaan Rusia pada abad ke 20, yaitu melalui konsep diferensiasi petani. Tentang kontradiksi antara industri kapitalisme yang maju  dan kapitalisme pertanian yang berkembang dan kemudian sistem pemilikan tanah yang masih seperti jaman feodal. Artinya, berawal dari Smith kita mendapat gambaran yang digunakan dalam menjelaskan peralihan ketika itu, bermulai dari Adam Smith sampai akhirnya ke Lenin, bahwa disini terlihat jelas benang merahnya mengenai proses peralihan dari produksi substinsen / alamiah ke produksi komoditi hingga ke produksi kapitalisme.

Teori radikal kontemporer tentang masalah peralihan terdapat perdebatan antara kaum sirkulasionlis tentang teori ketergantungan dan sistem dunia, dengan kaum produksionis mengenai pasar atau hubungan pertukaran yang menganalisis hubungan produksi. Dalam hal ini, mengenai masalah peralihan, Barang menjelaskan bahwa periode kolonialisme adalah tentang cara produksi dan tatanan social politiknya dapat lebih tepat dikatakan feodalisme. Kemudian mengenai pra kondisi menuju kapitalisme adalah meningkatkan output pertanian yang bersamaan dengan pemisahan antara petani dengan tanahnya.

Lahirnya aliran sirkulasionis atau bisa disebut dengan teori ketergantungan membawa dampak positif bagi Negara amerika latin, yaitu menimbulkan kebangkitan kembali teori-teori radikal yang sebelumnya dilupakan oleh ahli ilmu-ilmu sosial. Teori ini menjelaskan tentang kritik yang tajam terhadap paradigm modernisasi, seperti tradisional versus modern kemudian pertanian versus industri, maka tidak bisa dipungkiri bahwa teori ini sesungguhnya muncul atas dasar dua kecenderungan intelektual antara neo marxisme dan mengenai pembangunan yang dibentuk tradisi CEPAL (Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin).

Brenner mengkritik aliran sirkulisionis, bahwa menurutnya ini keliru. Karena ditentutan oleh struktur sosialnya. Kelas dari produksi yang didasarkan atas surplus kerja absolute yaitu kerja paksa. Berbeda dengan Hettne, dalam meringkas kritiknya terhadap sirkulisionis yaitu tentang definisi kapitalisme. Menurutnya kaum sirkulisionis mendefinisikan sebagai sistem pertukaran pada tingkat dunia. Sedangkan kaum produksionis memandang kapitalisme sebagai cara produksi yang hanya dapat di indentifikasikan pada suatu tingkatan nasional.

Dalam aliran produksionis terdapat tiga penjelasan teori, teori artikulasi cara-cara produksi, teori cara produksi kolonial kemudian teori internasional modal. Mengenai arkulasi produksi berpandangan bahwa cara produksi kapitalis adalah dominan dalam hubungannya dengan cara – cara produksi non-kapitalis pada masa peralihan. Berbeda dengan teori cara produksi kolonial, bahwa kolonialisme telah merubah pola perkembangan pra-kolonial, khususnya cara produksi pra kolonial di negeri jajahan. Artinya diperlukan cara produksi yang berbeda guna menganalisis pengalaman kolonial dan paska kolonial.

Dalam hal ini, Alavi menyatakan bahwa kolonialisme menyebabkan adanya cara produksi baru yang serupa dengan cara produksi kapitalis karena karakter cara produksi kolonial terdapat pada borjuasi lokal, kolonial, kekuasaan, Negara, disartikulasi internal, produksi komoditinya umum, transfer surplus ke metropolis seperti tiadanya akumulasi. Kemudian teori internasionalisasi modal beranggapan bahwa struktur dasar ekonomi dunia adalah cara produksi kapitalis.

Sumber buku : Peralihan Ke Kapitalisme di Dunia Ketiga : Teori-Teori Radikal dari Klasik Sampai Kontemporer. Bonnie Setiawan


Senin, 06 November 2017

ANTARA BERKOPERASI & BERWIRAUSAHA

Kita orang koperasi belum mampu menterjemahkan kebenaran ajaran koperasi dalam suatu program pencapaian. 

Antara cita-cita koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa dengan kondisi sekarang memerlukan penterjemahan-penterjemahan. Dan ini tidak disadari oleh orang-orang koperasi. 

Khususnya pada sektor mahasiswa, saya banyak berjumpa dengan manusia-manusia pragmatis, tapi jelas arahnya lain (wirausaha). Oleh karena seperti itulah kader–kader koperasi mahasiswa selalu ketinggalan dalam usaha pencapaian dan cenderung bersifat praktis dalam memahami koperasi.

          Penolakan kita terhadap cita-cita koperasi tampak dalam model pendidikan kita yang berbasis kewirausahaan, sesungguhnya cita-cita koperasi lebih mulia dibanding membangun kemandirian ekonomi secara INDIVIDU. Hal ini jelas menunjukkan betapa rendahnya kemampuan terjemah kita terhadap ideologi koperasi seutuhnya. Akibatnya kita hanya terpaku pada cita-cita akhir, tapi tidak ada sama sekali usaha atau program pencapaian terhadap cita-cita tersebut.

          Jikalau Bung Hatta masih hidup, pasti dia akan sedih dan berkata “koperasi saat ini hanya mementingkan segelintir individu, jauh dari massa rakyat”. Tak bisa disangkal realita selalu berubah dan berkembang, sekarang kita berada di era millennial yang tantangannya lebih massif.

          Perjuangan koperasi beserta cita-citanya hanyalah utopia belaka. Apanya yang ekonomi kerakyatan! Toh nyata-nyatanya kita adalah antek-antek kapitalis!!!