Jumat, 19 Januari 2018

Ilusi Ekonomi dan Imperialisme Gaya Baru: Sebuah Resume dan Analisis Singkat Atas Karya John Perkins


Tulisan ini sepenuhnya diilhami dari buku karya John Perkins
Dalam bukunya yang mengisahkan perannya sebagai seorang Economic Hit Man (EHM), John Perkins memberikan uraian bagaimana, dia dan sejawatnya sesama EHM melakukan serangkaian tindakan yang sistematis untuk menjajah suatu negara. Penjajahan ini tidak perlu diartikan sebagai penjajahan secara de jure, sehingga, meskipun secara de jure sebuah negara adalah sah dan berdaulat, maka secara de facto negara tersebut berada dalam pengaruh negara lain. Pengaruh ini, diuraikan oleh John, terutama dalam aspek ekonomi, di mana sumber daya yang dimiliki secara manipulatif dimanfaatkan untuk menyokong kepentingan negara penjajah tersebut, dan hanya sedikit sekali jika tidak sama sekali, yang digunakan untuk kemanfaatan negara pemilik sumber daya tersebut.
Pertama-tama kenapa? Yang terjadi adalah, negara-negara yang menjadi sasaran para EHM adalah negara-negara berkembang dengan sumber daya yang vital bagi negara penjajah. Lalu, bagaimana? Hal inilah yang akan menjadi pembahasan utama dalam artikel ini.
Mereka, para EHM, datang kepada negara-negara tujuan (calon terjajah) dengan membawa sebuah ilusi eknomi. Ilusi ini menyatakan bahwa, kemajuan eknomi suatu negara adalah ditunjukkan dengan statistik-statistik sebagaimana yang mereka bawa. Ambil contoh adalah pertumbuhan ekonomi, yang dihitung dari PDB. Dalam kondisi ekstrim, kondisi bencana alam yang dahsyat, yang kemudian ditindaklanjuti dengan perbaikan infrastruktur secara massif akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh angka-angka rekayasa mereka sendiri. Padahal secara substansi, yang terjadi adalah bencana, bukan begitu? (mereka bahkan menangguk untung dari penderitaan orang lain secara langsung)
Namun, bila ditilik lebih mendalam, siapakah yang mendapat manfaat terbesar dari pertumbuhan ekonomi dalam kasus ini? Tidak lain adalah perusahaan rekayasa dan konstruksi besar, yang mendapat megaproyek perbaikan infrastruktur tersebut. Bila ditilik lebih mendalam lagi, manfaat terbesar dari aktivitas perkonomian yang terus tumbuh ini adalah, apa yang oleh John Perkins diistilahkan dengan lapisan teratas piramida ekonomi, merekalah para pemilik modal, para kapitalis. Sementara mereka yang terserak di dasar piramida ekonomi nyaris tidak mendapatkan manfaat dari angka-angka yang positif tersebut.
Dengan dalih kemajuan, pertumbuhan, dll, para EHM lalu mengarahkan para penentu kebijakan, dan para pengambil keputusan kepada cara yang benar guna mencapai kemajuan-kemajuan ekonomi tersebut. Cara yang benar tersebut adalah dengan menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan, seperti jalan raya, pembangkit listrik, dll, guna menyokong ekonomi yang terus tumbuh tersebut. Lalu, sebagaimana dimaklumi, negara-negara berkembang tidak memiliki cukup sumber dana untuk menggenjot investasi yang sedemikian massif untuk iming-iming pertumbuhan ekonomi yang bersifat ilusi tersebut.
Adakalanya, dan seringkali, iming-iming ini saja tidak cukup. Para penentu kebijakan biasanya juga diming-imingi dengan jaminan tertentu mengenai kekuasaannya dari negara penjajah. Yang artinya, negara penjajah tersebut akan mendukung segala tindak-tanduk penentu kebijakan di negara terjajah, betapapun illegal, amoral, dan buruknya tindakan tersebut, demi melanggengkan kekuasaan sang penentu kebijakan.
Kesepakatan-kesepakatan yang dibuat, pada akhirnya melahirkan perjanjian bantuan dari negara penjajah, atau melalui lembaga internasional (yang dikendalikan oleh negara penjajah) kepada negara (calon) terjajah. Begitu bantuan ini disepakati, cengkeram penjajah tanpa sadar telah menggelayuti negara terjajah, sedikit demi sedikit, pada akhirnya tidak ada yang bisa dilakukan oleh negara terjajah, selain menyerahkan kedaulatan de facto-nya kepada negara penjajah.
Teknik ini umumnya berhasil, namun tidak selalu. Kegagalan teknik ini, adakalanya dimodifikasi oleh EHM, sehingga menghasilkan keberhasilan yang sama, dengan teknik yang berbeda. Namun, pernah juga teknik ini gagal sama sekali. Biasanya ketika menghadapi pemimpin (negara calon terjajah) yang mempunyai keberanian, visi nasionalisme yang kuat, dan keyakinan yang teguh. Saat ini adalah saatnya para serigala (begitu John menyebutnya) bertindak. Pembunuhan berencana yang kasat mata menjadi saksi sejarah bagaimana para pemimpin tersebut menjadi martir dalam usaha membela negaranya masing-masing.
Ketika pada kondisi tertentu, serigala gagal menunaikan misinya, maka invasi merupakan jalan terakhir. Invasi yang dibungkus dengan dalih-dalih aduhai untuk mengelabui mata dunia. Dalih yang biasanya dikemukakan adalah alasan ideologis yang universal semisal Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.
Melalui berbagai langkah, baik yang halus maupun kasar, pada akhirnya negara penjajah mendapatkan manfaat dan sumber daya yang mereka butuhkan.
Entah dengan dalih ilusi ekonomi (jika dilakukan dengan cara halus), atau pemulihan pasca perang (perang dalam tanda kutip, karena invasi adalah terminologi yang jauh lebih pas), negara penjajah akan memberikan bantuan yang dibutuhkan oleh negara penjajah.
Pada dasarnya, nyaris tidak ada uang yang mengalir keluar dari negara penjajah melalui bantuan tersebut. Bantuan tersebut selalu diiringi dengan syarat-syarat yang membuat uang hanya mengalir dari satu rekening ke rekening lain dalam negara penjajah, yang nantinya harus dibayar oleh negara terjajah, bagaimanapun caranya.
Umumnya, dengan berbagai dalil di atas, bantuan tersebut ditujukan untuk membangun (atau memulihkan) infrastruktur. Dan siapa yang harus ditunjuk sebagai pelaksananya? Tidak lain dari korporasi-korporasi besar dari negara-negara penjajah. Ini langkah pertama.
Selanjutnya, infrastruktur yang dibangun, yang berdalih pertumbuhan atau pemuliha, pada dasarnya diarahkan untuk menyokong kepentingan dari negara penjajah. Misalnya, infrastruktur yang baik dirancang untuk persiapan bagi korporasi besar negara penjajah untuk berinvestasi di masa depan di negara terjajah, yang pada hakikatnya untuk mengeruk sumber daya alam yang ada.
Investasi yang nantinya terjadi, jelas sekali tidak memihak kepentingan lokal, namun begitu, negosiasi dilakukan dalam posisi yang asimetris, yaitu pada saat negara terjajah sudah terlilit utang di masa lalu (melalui gerakan para EHM, serigala, atau invasi), sehingga posisi tawar negara terjajah lemah.
Korporasi pengeruk sumber daya tersebut berusaha di negara terjajah, mengeruk sumber dayanya, juga dengan mempekerjakan buruh murah di negara ybs. Keuntungan yang dinikmati penjajah berlipat ganda, sementara penderitaan yang dialami oleh negara terjajah juga berlipat ganda.
Mungkin, masyarakat negara penjajah tidak mengetahui fakta-fakta ini, dan seandainya mereka tahu, merekapun tidak akan setuju akan keadaan ini. Tetapi mereka tidak sadar, mereka hidup dalam pola yang mengharuskan adanya eksploitasi sumber daya dari negara lain untuk menutupi gaya hidup mewah mereka sendiri. Mereka adalah bagian dari penjajahan itu sendiri. Dan mereka tidak menyadari, bahwa mereka diciptakan untuk senantiasa menikmati kondisi tersebut, agar mau tidak mau, suka tidak suka mereka akan mendukung tindakan negara mereka, sebuah imperialism gaya baru, korporatokrasi.